Oleh: Hasanul Rizqa
Periode 1945-1949 merupakan masa krusial bagi tegaknya Republik Indonesia (RI). Revolusi Kemerdekaan RI yang berlangsung dalam kurun tahun tersebut memunculkan sejumlah tokoh. Di ranah militer, terdapat Jenderal Besar (Anumerta) Soedirman (ejaan yang disempurnakan: Sudirman).
E Koenardi menjelaskan riwayat singkat sosok ini dalam artikelnya, “Mengenang Almarhum Jenderal Sudirman”, yang dimuat di Dharmasena, majalah terbitan Departemen Pertahanan Keamanan (Februari 1976). Menurut dia, penelitian termutakhir menunjukkan, Jenderal Sudirman lahir pada 24 Januari 1916 di Dukuh Rembang, Desa Bantar Barang—kini termasuk wilayah Kecamatan Bodaskarangjati, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah.
Sementara itu, ada sumber lain yang menyebut, tokoh ini dilahirkan pada 1912 di Desa Bulupayung, Kesugihan, Kabupaten Cilacap. Mengutip keterangan Ibu Sudirman, pedoman tanggal lahir ini fiktif, tetapi didasarkan pada kehendak Pak Dirman sendiri untuk menuakan usianya empat tahun. Hal itu terjadi ketika pernikahan akan dilakukan karena waktu itu Pak Dirman dipandang masih terlalu muda, yakni 21 tahun.
Sejak bayi, Sudirman sudah ikut keluarga pamannya, Raden Tjokrosunaryo, yang berasal dari Rembang. Kebetulan, sang paman memiliki kehidupan yang lebih berkecukupan daripada kedua orang tua kandung Surdiman. Tjokrosunaryo menjabat sebagai asisten wedana (camat) setempat.
Begitu pensiun, Tjokrosunaryo berpindah ke Cilacap. Ia sempat bekerja di pengadilan negeri Cilacap, sebelum berpindah profesi menjadi pedagang mesin jahit. Dalam masa itu, Sudirman pun menghabiskan masa remaja di kota pesisir selatan Jawa tersebut.
Sardiman dalam bukunya, Panglima Besar Jenderal Sudirman: Kader Muhammadiyah (2000) menjelaskan, Pak Dirman dibesarkan dalam perpaduan dua subkultur Jawa, yakni wong cilik dan priyayi. Laku kultur wong cilik diperoleh dari pihak kedua orang tua kandungnya, sedangkan tradisi priyayi dirasakannya ketika diasuh keluarga pamannya.
Dari lingkungan budaya wong cilik, Sudirman memperoleh nilai-nilai hidup prihatin, kesederhanaan, dan keutamaan bekerja keras. Sejak kecil, ia pun terbiasa melakukan macam-macam pekerjaan rumah tangga, semisal menyapu, mengepel, menimba air untuk mengisi bak mandi, memasak, serta mencuci piring. Di sela-sela kesibukan pun, dirinya ngemong adik semata wayang, Mohammad Samingan. Sementara dari kultur priayi, Sudirman diajarkan pelbagai adat Jawa adiluhung, unggahungguh, kesusastraan, dan pentingnya hormat pada orang tua.
Layaknya anak-anak Muslim pada umumnya, Sudirman pun memperoleh pengetahuan dasar keagamaan Islam. Ia rutin mengaji dengan ustaz lokal di mushala. Menurut kesaksian seorang anak Samingan, Siti Sukiyah, pamannya itu belajar mengaji pada KH Qahar.
Sang kiai kerap memuji Sudirman kecil yang cukup lancar membaca Alquran. Anak ini pun memiliki suara yang cukup bagus. Meski karakternya pendiam, ia kerap ditunjuk untuk menjadi penyiar azan dan iqamah di mushala setempat.
Selain mempelajari baca tulis Alquran, Sudirman kecil juga mulai menghayati ajaran Islam secara lebih mendalam. Bahkan, ia disebut-sebut memiliki kepekaan yang lebih baik daripada kawan-kawan sebaya. Menurut kesaksian tokoh Muhammadiyah Banyumas, R Moh Kholil Marto Saputro, seperti dikutip Sardiman, Sudirman dijuluki “hajine” alias “pak haji kecil.” Sebab, sikap dan perilakunya yang religius.
Sardiman juga menukil petikan keterangan dari Samingan saat diwawancara pada 1970. Menurut adik Sudirman itu, sang kakak memiliki kebiasaan untuk mendirikan shalat tahajud dan berpuasa sunah. Di samping itu, mereka pun terbiasa untuk laku hidup prihatin, terutama sejak pamannya meninggal dunia. Wafatnya Raden Tjokrosunaryo sempat menyebabkan Sudirman terkendala untuk melanjutkan sekolah. “Sudirman biasa tidur di lantai beralaskan tikar di bawah jendela,” kata Samingan.
Nostalgia tidur di lantai dengan alas tikar ini pernah diulangi Pak Dirman saat sudah menjadi panglima besar. Kisahnya terjadi pada akhir 1946. Tokoh ini sedang melawat ke Purwokerto untuk memberi penjelasan soal dampak Perjanjian Linggarjati pada sejumlah pejabat sipil dan militer setempat.
Kemudian, selepas shalat Jumat, Pak Dirman mampir sejenak untuk menengok adiknya di Cilacap. Panitia lalu menyewa satu kamar losmen untuk sang jenderal. Di tempat penginapan itu, ia meminta Samingan untuk datang. Kakak beradik itu mengobrol hingga larut malam.
“Tidur di sini saja, Dik,” ujar Pak Dirman kepada Samingan. Sejurus kemudian, ia meminta dua helai tikar kepada seorang pengawalnya di luar. Tikar-tikar itu lalu digelarnya di dekat jendela kamar untuk dirinya sendiri dan sang adik. “Seperti dulu ya, Dik. Kau membujur ke sana, aku membujur ke sini,” katanya. Kasur empuk di atas dipan losmen pun mereka biarkan menganggur.
Aktif di kepanduan
Bisa dikatakan, semua narasi tentang Jenderal Besar Sudirman selalu menyertakan latar belakangnya sebagai seorang tokoh Muhammadiyah. Memang, gerakan Islam yang dirintis KH Ahmad Dahlan ini memiliki andil besar dalam menempa watak sang tokoh Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Dalam buku Soedirman: Seorang Panglima, Seorang Martir (2012) ditegaskan bahwa disiplin dan tanggung jawab yang menjadi sifat-sifat Pak Dirman dipupuk sejak dirinya aktif dalam Hizbul Wathan (HW). Gerakan kepanduan itu berdiri sejak 1918 M dan merupakan sebuah organisasi otonom di lingkungan Muhammadiyah. Selama bergerak di sana, Sudirman menoreh pelbagai prestasi dan posisi, semisal ketua HW Cilacap dan menteri daerah HW Banyumas.
Secara historis, kepanduan berakar dari Eropa. Namun, yang berkembang di Indonesia agak berbeda dengan yang terjadi di Benua Biru. Pujo Semedi dalam “Padvinders, Pandu, Pramuka: Youth and State in the 20th Century Indonesia” (2011) menjelaskan, kepanduan di Eropa menyeruak di tengah situasi antarnegara yang saling berperang. Adapun di Tanah Air, kepanduan amat kental dibayangi atmosfer kebangkitan nasional dan perlawanan terhadap kolonialisme. Maka, tokoh-tokoh nasional yang pernah berproses dalam kepanduan—semisal HW—melihat kepanduan yang diperkenalkan mula-mula oleh Belanda sebagai sebuah jalan untuk menanamkan nilai-nilai awal nasionalisme prakemerdekaan Indonesia.
Kepanduan pertama di Indonesia ialah Javaansche Padvinder Organisatie (JPO), yang dirintis Mangkunegawa VII dari Surakarta pada 1916. Setiap Ahad mereka dijadwalkan berlatih di halaman depan keraton. Latihannya mencakup baris- berbaris, pertolongan kecelakaan, tali-temali, membaca peta, dan kepanduan dasar lainnya. Para pandu anak-remaja yang diberi seragam itu berlatih terbuka, dapat dilihat oleh warga yang lalu lalang di depan pagar keraton.
Latihan kepanduan JPO ini lalu menarik minat pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan. Suatu waktu pada 1916, tokoh yang bergelar “sang pencerah” itu kembali dari acara pengajian Sidiq Amanah Fathonah Tabligh yang rutin diadakan di kediaman KH Imam Mukhtar Bukhari di Surakarta. Kebetulan, tokoh yang bernama asli Muhammad Darwis itu lewat di depan halaman Mangkunegaran. Dilihatnya bagaimana pandu-pandu muda JPO sedang berlatih baris-berbaris.
KH Ahmad Dahlan ingin agar peserta didik Muhammadiyah pun memiliki kegiatan serupa, tetapi bertujuan utama mengembangkan perjuangan serta syiar Islam—bukan hanya menempa kedisiplinan dan menyehatkan raga. Sampai di Yogyakarta, Kiai Dahlan secara khusus membahas untuk membentuk kepanduan Muhammadiyah. Ia memanggil dua pengajar yakni Sumodirjo dan Sarbini untuk merintis gerakan kepanduan Muhammadiyah.
Pada 1918, akhirnya persyarikatan ini memiliki Padvinders Muhammadiyah. Itu berganti nama kira-kira tiga tahun kemudian menjadi Hizbul Wathan, yang secara harfiah berarti ‘cinta tanah air.’ Inspirasinya datang dari gerakan perjuangan Partai Wathan yang beraliran antikolonialisme di Mesir.
Dalam biografi resmi yang dirilis Pusat Sejarah TNI disebutkan besarnya pengaruh HW terhadap pribadi Jenderal Besar Sudirman. “Melalui kegiatan Hizbul Wathan, bakat bakat kepemimpinan Sudirman terlihat. Ia menjadi pandu yang disiplin, dan bertanggung jawab, cinta terhadap alam.”
Secara umum, ada tiga kegiatan yang diikuti Sudirman sebagai seorang pandu HW, yakni pendidikan rohani, pelatihan jasmani, dan karya bakti. Untuk yang terakhir ini, ia diharuskan aktif dalam Majelis Penolong Kesengsaraan Oemat (kini PKU) Muhammadiyah. Bersama rekan-rekan, putra daerah Purbalingga ini ikut mengumpulkan zakat, mempersiapkan penyelenggaraan shalat id, menyembelih hewan kurban dan membagikan daging kepada warga, dan lain-lainnya.
Dalam satu kisah perkemahan pandu HW di Lereng Batur, daerah Dieng Wonosobo, tampak karakteristik Sudirman remaja dalam bersikap menghadapi situasi dan kondisi yang ekstrem. Menjelang malam, turun hujan deras. Udara menjadi sangat dingin. Rekan-rekan Sudirman yang tak kuat dingin meminta izin untuk pindah tenda atau turun ke rumah penduduk. Sementara, Sudirman tetap dalam tendanya. Seorang kawannya yang bertugas jaga malam sempat mendengar lantunan ayat Kursi dari dalam tenda Sudirman. Setelah itu, ia terlihat mengenakan baju hangat dan menunaikan shalat malam.
Ikut berdakwah
HW menjadi jalan awal bagi Sudirman muda untuk terjun ke lapangan dakwah sebagai seorang kader Muhammadiyah. Keaktifannya pun tercatat dalam Pemuda Muhammadiyah. Pada 1937, ia menjadi wakil Pemuda Muhammadiyah wilayah Banyumas.
Di Pemuda Muhammadiyah pula, kecakapan Sudirman dalam berdakwah kian terasah. Seorang kawan aktivis di organisasi, Hardjomartono, memberikan kesaksian, sebagaimana direkam Sardiman dalam bukunya. Menurut dia, Pak Dirman biasa berdakwah di pelbagai daerah sekitar Banyumas, termasuk Rawalo.
Di sana, pernah Hardjomartono dan kawan-kawan berbincang dengan Sudirman. “Wahai para pemuda Muhammadiyah! Ada dua pilihan penting dalam kehidupan yang kita jalani saat ini. Pertama, iskhariman, yakni hidup yang mulia. Yang kedua, musyahidan, yakni mati syahid. Kalian memilih yang mana?” kata Hardjomartono menirukan perkataan Sudirman waktu itu.
“Kalau memilih iskhariman, bagaimana syaratnya?” kata seorang kawan.
“Kamu harus selalu beribadah dan berjuang untuk agama Islam,” jawab Sudirman.
“Bagaimana kalau musyahidan?” timpal Hardjomartono.
“Kamu harus berjuang melawan setiap bentuk kebatilan dan berjuang untuk memajukan Islam.”
“Jadi, semua harus berjuang?" sambung yang lain.
“Kedua pilihan itu seimbang,” jelas Sudirman, “maka kita akan mendapatkan semua kalau mau. Salah satu musuh penghalang saat ini adalah penjajahan. Agar pemuda mendapatkan kemuliaan, maka harus bersiap untuk berjuang, siap syahid untuk mendapatkan kemerdekaan. Para pemuda harus berani untuk jihad fisabillilah.”
Menjadi guru
Sebelum berkarier di militer, Sudirman pernah menjadi guru. Ceritanya bermula sejak 1934, ketika ia lulus dari MULO Wiworotomo. Ada lowongan untuk mengajar di HIS Muhammadiyah.
Sempat muncul masalah, yakni Sudirman belum punya ijazah mengajar. Untuk menyiasati hal itu, ia pun menerima bahwa jenjangnya nanti hanya sekadar guru biasa—tidak menerima tunjangan dari pemerintah. Kemudian, ia menemui guru-guru senior HIS Muhammadiyah untuk menimba ilmu mengajar. Dari sini perjalanannya sebagai guru dimulai.
Sardiman dalam bukunya mengutip kesaksian Marsidik (72 tahun saat diwawancara), seorang mantan murid Sudirman pada 1934-1937. Marsidik memaparkan, Pak Dirman menjadi guru di kelas yang berisi murid sebanyak 30-an orang anak. Satu kelas dipisahkan kain tipis antara murid laki-laki dan perempuan.
Menurut dia, Pak Dirman pandai mengajar. “Penyampaian materinya tidak kering atau tegang. Beliau kerap berguyon ringan, mengajarkan nilai agama dan nasionalisme,” katanya. Apakah ia seorang guru yang galak? “Pak Dirman tidak pernah galak atau keras kepada siswanya. Wajahnya menyenangkan. Bibirnya yang tebal dan merah serta lagaknya yang lincah selalu membuat kami tertawa apabila ia bergurau,” lanjut Marsidik.
Sudirman juga pintar membina relasi dengan sesama rekan pengajar. Sampai akhirnya dalam satu pemilihan kepala sekolah, Pak Dirman yang tanpa ijazah guru resmi itu malah terpilih menjadi kepala HIS Muhammadiyah Cilacap. Namun, oleh Belanda lembaga pendidikan itu kemudian dipaksa tutup.
Tampil di militer
Setelah Indonesia merdeka, ada tiga basis militer di tentara republik ini. Ketiganya adalah Pembela Tanah Air (PETA), Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL), dan laskar-laskar perjuangan. Personel mereka semua kemudian masuk ke dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR), yang merupakan cikal bakal Tentara Keamanan Rakyat (TKR)—lalu berubah menjadi TNI.
Panglima yang sudah ditunjuk pemerintah RI saat itu adalah Soepriyadi, sosok yang masyhur sebagai pemimpin pemberontakan PETA di Madiun. Masalahnya, sejak penunjukkan itu, yang bersangkutan tidak jelas keberadaannya. Akhirnya, presiden Sukarno, wakil presiden Hatta, dan perdana menteri Sutan Sjahrir meminta segera digelarnya pertemuan seluruh pemimpin tentara untuk menentukan masa depan militer RI.
Forum ini digelar pada 12 November 1945 di Markas Tinggi TKR di Gondokusuman, Yogyakarta. Representasi wilayah dalam pertemuan itu agak pincang. Tercatat, hanya Jawa Barat dan Jawa Tengah yang lengkap perwakilannya. Jawa Timur absen sebab di tengah serbuan tentara Inggris dan Belanda dalam Perang 10 November. Perwakilan Sumatra hanya mengirimkan Kolonel Mohammad Noeh, yang mengklaim mewakili enam divisi. Tidak ada wakil dari Kalimantan dan Sulawesi.
Bila berdasarkan kalkulasi rasional, kemungkinan Raden Oerip Soemohardjo menjadi panglima. Apalagi, sosok yang pernah menjadi anggota KNIL itu diutus langsung oleh pemerintah untuk mengorganisasi divisi-divisi perang di Jawa dan Sumatra. Lagipula, Oerip unggul dari segi senioritas, kemampuan pengorganisasian, dan kepangkatan sebagai seorang letnan jenderal. Sementara, Sudirman “hanya” berpangkat kolonel dan baru beberapa tahun menjadi tentara PETA.
Dalam buku yang ditulis eks ajudan Sudirman, Tjokropranolo, berjudul Jenderal Soedirman: Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia, Kisah Seorang Pengawal (1993) dirunutkan bagaimana detik-detik pemilihan tersebut. “Suasana rapat menjadi makin hangat dan ramai tatkala pemilihan Pimpinan Tertinggi TKR dimulai, tetapi karena yang hadir belum siap untuk mengajukan calon masing-masing, maka atas prakarsa Pak Dirman rapat diskors sebentar.
Pada saat itu nampaknya sudah kelihatan kebijaksanaan dan kearifan Pak Dirman yang ketika itu berpangkat kolonel dan termasuk pimpinan yang perlengkapan dan senjata pasukannya tergolong paling banyak. Ketika rapat dimulai lagi, pimpinan rapat dipegang oleh Holland Iskandar. Pemilihan berjalan secara terbuka, demokratis, dan pada papan tulis dicantumkan nama-nama calon; di antaranya yakni Hamengkubuwono IX, Widjoyo Soeryokusumo, GPH Prabunegoro, Oerip Soemohardjo, Soedirman, Suryadarma, M Pardi, dan Nazir.
Hasil hitungan menunjukkan suara terbanyak bagi calon yang namanya disebut terakhir kali Selisih perbedaan suara yang diperoleh antara Pak Dirman dan Pak Oerip Soemohardjo tidak banyak. Tetapi dari enam divisi di Sumatera yang mewakili enam suara memberikan seluruh suaranya itu kepada Pak Dirman. Dalam rapat itu, Pak Dirman sebagai salah satu bekas opsir PETA yang pada waktu itu baru berusia 29 tahun, terpilih sebagai Panglima TKR.”
Sesudah itu, Tjokropranolo menuturkan, latar militer Oerip sebagai seorang bekas opsir KNIL membuat dirinya dicurigai oleh banyak perwira TKR yang lebih muda usianya. Bagaimanapun, sosok yang lebih tua dari Pak Dirman tetap diminta menjadi kepala staf umum TKR karena dipandang mahir dalam urusan organisasi kemiliteran.
Adapun Pak Dirman dikenal dengan wataknya yang pendiam dan lemah lembut dalam bertutur kata. Pada saat yang sama, ia pun sangat teguh hati dan tegas sebagai seorang pemimpin dalam ketentaraan. “Beliau (Sudirman) lebih banyak mendengar pendapat orang lain, tetapi cepat mengambil kesimpulan yang tepat. Sekali putusan diambil, tidak dapat mudah diubah lagi oleh siapa pun,” kata Tjokropranolo.
Di usia yang relatif muda yakni 31 tahun, Sudirman sudah dinobatkan menjadi panglima besar TKR. Pangkat yang disandangnya ialah jenderal. Dalam menjalankan perannya memimpin militer RI, ia menghadapi dua agresi militer Belanda.
Pada agresi militer kedua, Sudirman harus melaksanakan tugasnya meski dalam keadaan yang sangat lemah. Sebab, sakit paru-paru yang diidapnya kian parah dan bahkan harus dioperasi. Dengan semangat dan kecintaan akan Tanah Air, Pak Dirman memilih untuk tetap berjuang memimpin perang dari atas tandu, sementara dalam tubuhnya hanya satu paru-paru yang berfungsi.
Begitu Belanda menguasai titik-titik vital di Yogyakarta, Pak Dirman memimpin pasukannya untuk keluar dari daerah itu dan melaksanakan taktik perang gerilya melawan musuh. Gerilya itu terbukti di kemudian hari menjadi puncak kegemilangan sang panglima. Strategi itu berhasil mempersulit Belanda.
Belanda memang bisa menawan Sukarno, Hatta, dan sejumlah pemimpin nasional Indonesia dari kalangan sipil. Namun, para pejuang pantang menyerah. Sebelum ditawan, Bung Karno masih sempat mengirimkan kawat kilat kepada Syafruddin Prawiranegara di Sumatra Barat dan LN Palar di India. Isinya memaklumkan tegaknya pemerintahan darurat RI (PDRI) yang di dalamnya Pak Syaf menjadi presiden—walau yang bersangkutan kemudian menggunakan istilah “ketua PDRI.” Bila ia gagal, barulah LN Palar diberi kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan RI dalam pengasingan (in exile) di India.
Maka sejak Yogyakarta dikuasai Belanda pada 19 Desember 1948, Pak Dirman dan Pak Syaf terjun di lapangan memimpin gerilya, masing-masing di Jawa dan Sumatra. Keduanya berusaha keras untuk tetap melakukan serangan terhadap musuh dan sekaligus menyelenggarakan pemerintahan RI walau pasukan Belanda hilir-mudik memburu mereka.
Dalam buku Sang Pedjoang: Ketika Secarik Kertas Berbicara karya Dien Albana diceritakan, Sudirman selalu mewanti-wanti bahwa masuk-keluar hutan untuk bergerilya adalah sebuah penegasan: Indonesia tetap berdaulat. Komando telah disebar ke seluruh negeri. Di mana pun, tentara harus melakukan perlawanan pada Belanda. Atas perintah Pak Dirman pula, pemimpin batalyon segala devisi segera menyusun strategi menghambat pergerakan musuh.
Pada 1 Maret 1949, terjadi peristiwa penting yakni Serangan Umum (SU). Inilah serbuan heroik besar-besaran yang dilakukan para prajurit RI atas ibu kota negara Indonesia, Yogyakarta. Walaupun “hanya” berlangsung setengah hari, hasilnya terbukti amat menggentarkan pihak penjajah dan dunia internasional. Sebab, inilah momen pembuktian bahwa RI masih eksis, tegak berdiri, dan tanpa henti berjuang mempertahankan kedaulatannya di hadapan Belanda, yang tanpa malu-malu hendak menjadi kekuatan kolonial lagi.
Perencanaannya sudah dimulai sebelumnya dengan pengetahuan Panglima Besar Sudirman yang sedang bergerilya. SU ini memang diperkirakan tidak akan lama berlangsung karena pasukan musuh di Magelang, Solo, dan Semarang masih belum bisa ditandingi yang pasti akan memperkuat pertahanannya di Yogyakarta yang sempat jebol itu.
“Tetapi setidak-tidaknya dengan SU ini dunia akan tahu bahwa TNI masih ada dan RI belum terkalahkan, sekalipun ibu kota sudah angkat bendera putih. Apalagi di Sumatra, PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) masih memegang kedaulatan negara secara sah dan para pemimpinnya tidak pernah tertangkap, berkat seni gerilya yang mereka kembangkan dengan semangat jihad yang sangat tinggi,” tulis sejarawan Ahmad Syafii Maarif dalam artikelnya, “Serangan Umum 1 Maret 1949.”
Akhir hayat
Karena semakin meningkatnya tekanan dari PBB, pada 7 Mei 1949 Indonesia dan Belanda akhirnya sepakat duduk berunding. Inilah mula terjadinya Perjanjian Roem-Royen. Isi utamanya cenderung memojokkan pihak kolonial: Belanda harus menarik pasukannya dari Yogyakarta. Dengan perkataan lain, dunia internasional mulai mengakui secara de facto bahwa RI adalah sebuah negara berdaulat yang sedang diinvasi Belanda.
Maka, Belanda mulai menarik pasukannya pada akhir Juni 1949. Beberapa pekan kemudian, Bung Karno dan sejumlah pemimpin sipil RI lainnya meninggalkan pengasingan serta kembali ke Yogyakarta. Ada sedikit kendala sesudah itu.
Sebab, Sudirman beserta jajaran militernya dan unsur-unsur PDRI di Sumatra kecewa dengan Bung Karno dkk yang bersedia berunding. Bagi mereka, sang proklamator masih berstatus tawanan Belanda. Apalagi, di lapangan perjuangan TKR kian menunjukkan hasil memojokkan pasukan musuh.
Ibarat nasi sudah menjadi bubur, Perjanjian Roem-Royen sudah disepakati. Di Yogyakarta, Bung Karno meminta Sudirman untuk kembali. Namun, permintaan ini sempat ditolak sang jenderal. Sebab, ia masih memandang Bung Karno dan kawan-kawan—yang disebut sebagai “para politisi itu”—telah sepaham dengan Belanda.
Sudirman baru setuju untuk kembali ke Yogyakarta usai menerima sebuah surat—yang pengirimnya masih diperdebatkan kalangan sejarawan hingga kini. Pada 10 Juli 1949, akhirnya Pak Dirman kembali ke Ibu Kota RI. Rombongannya disambut gegap gempita ribuan warga sipil dan diterima dengan hangat oleh para elite politik di Istana. Maka, pupuslah kesan bahwa “ada keretakan antar-pemimpin tertinggi Republik”, demikian komentar wartawan senior Rosihan Anwar, yang hadir di Yogyakarta saat itu.
Usai dari masa perang gerilya, inilah saatnya Pak Dirman lebih berfokus pada pengobatan sakit TBC yang dideritanya. Ia lalu dirawat di RS Panti Rapih Yogyakarta. Mulai saat itu, sang jenderal kian jarang tampil di depan publik.
Memasuki Desember 1949, ia dipindahkan ke sebuah rumah di Magelang. Pada akhir bulan tersebut, Konferensi Meja Bundar (KMB) sudah menemui titik final, yakni pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda. Kemudian, Sudirman diangkat menjadi panglima besar TNI Republik Indonesia Serikat (RIS).
Pekan demi pekan berlalu. Kondisi Pak Dirman kian melemah. Akhirnya, pada pukul 18.30 WIB tanggal 29 Januari 1950 di Magelang, sang panglima menghembuskan nafas terakhir. Kabar itu disiarkan melalui Radio Republik Indonesia. Kedukaan langsung menyelimuti seluruh negeri.
Rumah keluarga almarhum dipadati para pelayat, yang berasal baik dari kalangan sipil, militer, maupun warga biasa. Keesokan harinya, jenazah Sudirman dibawa ke Yogyakarta, diiringi konvoi pemakaman yang dipimpin empat tank dan 80 kendaraan bermotor. Ribuan orang berdiri di sisi jalan, menyampaikan salam terakhir untuk sang pahlawan.
Taman Makam Pahlawan Semaki menjadi tempat peristirahatannya yang terakhir. Makamnya berada di sebelah kuburan seniornya, Oerip Soemohardjo.